Gerakan 30
September (dahulu juga disingkat G
30 S PKI, G-30S/PKI), Gestapu (Gerakan
September Tiga Puluh), Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah
sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam tanggal 30 September sampai
di awal 1 Oktober 1965 di mana enam perwira tinggi
militer Indonesia beserta
beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha percobaankudeta yang kemudian dituduhkan kepada
anggota Partai Komunis
Indonesia.
Latar belakang
Gerakan 30
September (dahulu juga disingkat G
30 S PKI, G-30S/PKI), Gestapu (Gerakan
September Tiga Puluh), Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah
sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam tanggal 30 September sampai
di awal 1 Oktober 1965 di mana enam perwira tinggi
militer Indonesia beserta
beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha percobaankudeta yang kemudian dituduhkan kepada
anggota Partai Komunis
Indonesia.
Latar belakang
Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan partai komunis yang terbesar di seluruh
dunia, di luar Tiongkok dan Uni Soviet. Sampai pada tahun 1965 anggotanya
berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga
mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan
pergerakan petani Barisan Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota.
Termasuk pergerakan wanita (Gerwani), organisasi
penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta
anggota dan pendukung.
Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan
konstitusi di bawah dekrit presiden - sekali lagi dengan dukungan penuh dari
PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral
militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin".
PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan
anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara
Nasionalis, Agama dan Komunis yang dinamakan NASAKOM.
Pada era "Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara
kepemimpinan PKI dan kaum burjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan
independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan
ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, foreign reserves menurun,
inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.
Angkatan kelima
Pada
kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok, Perdana Menteri Zhou Enlai menjanjikan 100.000 pucuk
senjata jenis chung, penawaran ini gratis tanpa syarat dan kemudian
dilaporkan ke Bung Karno tetapi belum juga menetapkan waktunya sampai
meletusnya G30S.
Pada awal
tahun 1965 Bung Karno atas saran dari PKI akibat dari tawaran perdana mentri
RRC, mempunyai ide tentang Angkatan Kelima yang berdiri sendiri
terlepas dari ABRI. Tetapi petinggi Angkatan Darat tidak setuju dan hal ini
lebih menimbulkan nuansa curiga-mencurigai antara militer dan PKI.
Dari
tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin
berusaha memprovokasi bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dan polisi
dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI juga menginfiltrasi polisi dan tentara denga
slogan "kepentingan bersama" polisi dan "rakyat". Pemimpin
PKI DN Aidit mengilhami slogan "Untuk
Ketentraman Umum Bantu Polisi". Di bulan Agustus 1964,
Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari "sikap-sikap
sektarian" kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan
seniman sayap-kiri untuk membuat "massa tentara" subjek karya-karya
mereka.
Di akhir
1964 dan permulaan 1965 ribuan petani bergerak merampas
tanah yang bukan hak mereka atas hasutan PKI. Bentrokan-bentrokan besar terjadi
antara mereka dan polisi dan para pemilik tanah.
Bentrokan-bentrokan
tersebut dipicu oleh propaganda PKI yang menyatakan bahwa petani berhak atas
setiap tanah, tidak peduli tanah siapapun (milik negara = milik bersama).
Kemungkinan besar PKI meniru revolusi Bolsevik di Rusia, di mana di sana rakyat
dan partai komunis menyita milik Tsar dan membagi-bagikannya kepada rakyat.
Pada
permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak
milik Amerika Serikat.
Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan resmi. Pada
waktu yang sama, jenderal-jenderal militer tingkat tinggi juga menjadi anggota
kabinet. Jendral-jendral tersebut masuk kabinet karena jabatannya di militer
oleh Sukarno disamakan dengan setingkat mentri. Hal ini dapat dibuktikan dengan
nama jabatannya (Menpangab, Menpangad, dan lain-lain).
Menteri-menteri
PKI tidak hanya duduk di sebelah para petinggi militer di dalam kabinet Sukarno
ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan
bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat".
Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan
bersenjata di mana ia berbicara tentang "perasaan kebersamaan dan
persatuan yang bertambah kuat setiap hari antara tentara Republik Indonesia dan
unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para komunis".
Rezim Sukarno mengambil langkah terhadap para pekerja dengan
melarang aksi-aksi mogok di industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan
karena industri menurut mereka adalah milik pemerintahan NASAKOM.
Tidak lama PKI mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk
pembentukan rezim militer, menyatakan keperluan untuk pendirian "angkatan
kelima" di dalam angkatan bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani
yang bersenjata. Bukannya memperjuangkan mobilisasi massa yang berdiri sendiri
untuk melawan ancaman militer yang sedang berkembang itu, kepemimpinan PKI
malah berusaha untuk membatasi pergerakan massa yang makin mendalam ini dalam
batas-batas hukum kapitalis negara. Mereka, depan jendral-jendral militer,
berusaha menenangkan bahwa usul PKI akan memperkuat negara. Aidit menyatakan
dalam laporan ke Komite Sentral PKI bahwa "NASAKOMisasi" angkatan
bersenjata dapat dicapai dan mereka akan bekerjasama untuk menciptakan
"angkatan kelima". Kepemimpinan PKI tetap berusaha menekan aspirasi
revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih
mendorong ilusi bahwa aparatus militer dan negara sedang diubah untuk
mengecilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat negara.
Isu sakitnya Bung Karno
Sejak tahun 1964 sampai menjelang
meletusnya G30S telah beredar isu sakit parahnya Bung Karno. Hal ini
meningkatkan kasak-kusuk dan isu perebutan kekuasaan apabila Bung Karno
meninggal dunia. Namun menurut Subandrio, Aidit tahu persis bahwa Bung Karno
hanya sakit ringan saja, jadi hal ini bukan merupakan alasan PKI melakukan
tindakan tersebut.
Isu masalah tanah dan bagi hasil
Pada tahun 1960 keluarlah Undang-Undang Pokok Agraria (UU
Pokok Agraria) dan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UU
Bagi Hasil) yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari Panitia
Agraria yang dibentuk pada tahun 1948.
Panitia Agraria yang menghasilkan UUPA terdiri dari wakil pemerintah dan wakil
berbagai ormas tani yang mencerminkan 10 kekuatan partai politik pada masa itu.
Walaupun undang-undangnya sudah ada namun pelaksanaan di daerah tidak jalan
sehingga menimbulkan gesekan antara para petani penggarap dengan pihak pemilik
tanah yang takut terkena UUPA, melibatkan sebagian massa pengikutnya dengan
melibatkan backing aparat keamanan. Peristiwa yang menonjol dalam rangka ini
antara lain peristiwa Bandar Betsi di Sumatera Utara dan peristiwa di Klaten
yang disebut sebagai ‘aksi sepihak’ dan kemudian digunakan sebagai dalih oleh
militer untuk membersihkannya.
Keributan antara PKI dan Islam (tidak hanya NU, tapi juga dengan
Persis dan Muhammadiyah) itu pada dasarnya terjadi di hampir semua tempat di
Indonesia, di Jawa Barat, Jawa Timur, dan di provinsi-provinsi lain juga
terjadi hal demikian, PKI di beberapa tempat bahkan sudah mengancam kyai-kyai
bahwa mereka akan disembelih setelah tanggal 30 September 1965 (hal ini membuktikan
bahwa seluruh elemen PKI mengetahui rencana kudeta 30 September tersebut).
Faktor Malaysia
Negara Federasi Malaysia yang baru terbentuk
pada tanggal 16 September 1963 adalah
salah satu faktor penting dalam insiden ini[1].Konfrontasi
Indonesia-Malaysia merupakan salah satu penyebab kedekatan
Presiden Soekarno dengan PKI, menjelaskan motivasi para tentara yang
menggabungkan diri dalam gerakan G30S/Gestok (Gerakan
Satu Oktober), dan juga pada akhirnya menyebabkan PKI melakukan
penculikan petinggi Angkatan Darat.
“
|
Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, di mana para demonstran
menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno, membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul Rahman—Perdana Menteri
Malaysia saat itu—dan memaksanya untuk menginjak Garuda,
amarah Soekarno terhadap Malaysia pun meledak.
|
”
|
Soekarno yang murka karena hal itu mengutuk tindakan Tunku yang
menginjak-injak lambang negara Indonesia[2] dan ingin melakukan balas
dendam dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan sebutan "Ganyang Malaysia" kepada negara Federasi Malaysiayang telah sangat menghina
Indonesia dan presiden Indonesia. Perintah Soekarno kepada Angkatan Darat untuk
meng"ganyang Malaysia" ditanggapi dengan dingin oleh para jenderal
pada saat itu. Di satu pihak Letjen Ahmad Yani tidak ingin melawan Malaysia
yang dibantu oleh Inggris dengan anggapan bahwa tentara Indonesia pada saat itu
tidak memadai untuk peperangan dengan skala tersebut, sedangkan di pihak
lain Kepala Staf
TNI Angkatan Darat A.H. Nasution setuju dengan usulan
Soekarno karena ia mengkhawatirkan isu Malaysia ini akan ditunggangi oleh PKI
untuk memperkuat posisinya di percaturan politik di Indonesia.
Posisi Angkatan Darat pada saat itu serba salah karena di satu
pihak mereka tidak yakin mereka dapat mengalahkan Inggris, dan di lain pihak
mereka akan menghadapi Soekarno yang mengamuk jika mereka tidak berperang.
Akhirnya para pemimpin Angkatan Darat memilih untuk berperang setengah hati
di Kalimantan. Tak heran, Brigadir Jenderal Suparjo,
komandan pasukan di Kalimantan Barat,
mengeluh, konfrontasi tak dilakukan sepenuh hati dan ia merasa operasinya
disabotase dari belakang[3]. Hal ini juga dapat dilihat dari
kegagalan operasi gerilya di Malaysia, padahal tentara Indonesia sebenarnya
sangat mahir dalam peperangan gerilya.
Mengetahui bahwa tentara Indonesia tidak mendukungnya, Soekarno
merasa kecewa dan berbalik mencari dukungan PKI untuk melampiaskan amarahnya
kepada Malaysia. Soekarno, seperti yang ditulis di otobiografinya, mengakui bahwa ia adalah
seorang yang memiliki harga diri yang sangat tinggi, dan tidak ada yang dapat
dilakukan untuk mengubah keinginannya meng"ganyang Malaysia".
“
|
Soekarno adalah seorang individualis. Manusia jang tjongkak
dengan suara-batin yang menjala-njala, manusia jang mengakui bahwa ia
mentjintai dirinja sendiri tidak mungkin mendjadi satelit jang melekat pada
bangsa lain. Soekarno tidak mungkin menghambakan diri pada dominasi kekuasaan
manapun djuga. Dia tidak mungkin menjadi boneka.
|
”
|
Di pihak PKI, mereka menjadi pendukung terbesar gerakan
"ganyang Malaysia" yang mereka anggap sebagai antek Inggris, anteknekolim.
PKI juga memanfaatkan kesempatan itu untuk keuntungan mereka sendiri, jadi
motif PKI untuk mendukung kebijakan Soekarno tidak sepenuhnya idealis.
Pada saat PKI memperoleh angin segar, justru para
penentangnyalah yang menghadapi keadaan yang buruk; mereka melihat posisi PKI
yang semakin menguat sebagai suatu ancaman, ditambah hubungan internasional PKI
dengan Partai
Komunis sedunia, khususnya dengan adanya poros Jakarta-Beijing-Moskow-Pyongyang-Phnom Penh. Soekarno juga mengetahui hal ini,
namun ia memutuskan untuk mendiamkannya karena ia masih ingin meminjam kekuatan
PKI untuk konfrontasi yang sedang berlangsung, karena posisi Indonesia yang
melemah di lingkungan internasional sejak keluarnya Indonesia dari PBB (20 Januari 1965).
Dari sebuah dokumen rahasia badan intelejen Amerika Serikat (CIA)
yang baru dibuka yang bertanggalkan 13 Januari 1965menyebutkan
sebuah percakapan santai Soekarno dengan para pemimpin sayap kanan bahwa ia
masih membutuhkan dukungan PKI untuk menghadapi Malaysia dan oleh karena itu ia
tidak bisa menindak tegas mereka. Namun ia juga menegaskan bahwa suatu waktu
"giliran PKI akan tiba. "Soekarno berkata, "Kamu bisa menjadi
teman atau musuh saya. Itu terserah kamu. ... Untukku, Malaysia itu musuh nomor
satu. Suatu saat saya akan membereskan PKI, tetapi tidak sekarang."[2]
Dari pihak Angkatan Darat, perpecahan internal yang terjadi
mulai mencuat ketika banyak tentara yang kebanyakan dari Divisi
Diponegoro yang kesal serta kecewa kepada sikap petinggi
Angkatan Darat yang takut kepada Malaysia, berperang hanya dengan setengah
hati, dan berkhianat terhadap misi yang diberikan Soekarno. Mereka memutuskan
untuk berhubungan dengan orang-orang dari PKI untuk membersihkan tubuh Angkatan
Darat dari para jenderal ini.
Faktor Amerika Serikat
Amerika Serikat pada waktu itu sedang terlibat dalam perang Vietnam dan berusaha sekuat tenaga
agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunisme. Peranan badan intelejen Amerika
Serikat (CIA) pada peristiwa ini sebatas memberikan 50
juta rupiah (uang saat itu) kepada Adam Malik dan walkie-talkie serta
obat-obatan kepada tentara Indonesia. Politisi Amerika pada bulan-bulan yang
menentukan ini dihadapkan pada masalah yang membingungkan karena mereka merasa
ditarik oleh Sukarno ke dalam konfrontasi Indonesia-Malaysia ini.
Salah satu pandangan mengatakan bahwa peranan Amerika Serikat
dalam hal ini tidak besar, hal ini dapat dilihat dari telegram Duta Besar Green
ke Washington pada tanggal 8 Agustus 1965 yang
mengeluhkan bahwa usahanya untuk melawan propaganda anti-Amerika di Indonesia
tidak memberikan hasil bahkan tidak berguna sama sekali. Dalam telegram kepada
Presiden Johnson tanggal 6 Oktober, agen CIA
menyatakan ketidakpercayaan kepada tindakan PKI yang dirasa tidak masuk akal
karena situasi politis Indonesia yang sangat menguntungkan mereka, dan hingga
akhir Oktober masih terjadi kebingungan atas pembantaian di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali dilakukan
oleh PKI atau NU/PNI.
Pandangan lain, terutama dari kalangan korban dari insiden ini,
menyebutkan bahwa Amerika menjadi aktor di balik layar dan setelah dekrit
Supersemar Amerika memberikan daftar nama-nama anggota PKI kepada militer untuk
dibunuh. Namun hingga saat ini kedua pandangan tersebut tidak memiliki banyak
bukti-bukti fisik.
Faktor ekonomi
Ekonomi masyarakat Indonesia pada waktu itu yang sangat rendah
mengakibatkan dukungan rakyat kepada Soekarno (dan PKI) meluntur. Mereka tidak
sepenuhnya menyetujui kebijakan "ganyang Malaysia" yang dianggap akan
semakin memperparah keadaan Indonesia.
Inflasi yang mencapai 650% membuat harga makanan melambung
tinggi, rakyat kelaparan dan terpaksa harus antri beras, minyak, gula, dan
barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Beberapa faktor yang berperan kenaikan
harga ini adalah keputusan Suharto-Nasution untuk menaikkan gaji para tentara
500% dan penganiayaan terhadap kaum pedagang Tionghoa yang menyebabkan mereka
kabur. Sebagai akibat dari inflasi tersebut, banyak rakyat Indonesia yang
sehari-hari hanya makan bonggol
pisang, umbi-umbian,gaplek, serta bahan makanan
yang tidak layak dikonsumsi lainnya; pun mereka menggunakan kain dari karung
sebagai pakaian mereka.
Faktor ekonomi ini menjadi salah satu sebab kemarahan rakyat
atas pembunuhan keenam jenderal tersebut, yang berakibat adanyabacklash terhadap
PKI dan pembantaian orang-orang yang dituduh anggota PKI di Jawa Tengah, Jawa
Timur, Bali serta tempat-tempat lainnya.
Peristiwa
Pada 1 Oktober 1965 dini
hari, enam jenderal senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa) yang dianggap loyal kepada PKI
dan pada saat itu dipimpin oleh Letkol. Untung. Panglima Komando Strategi Angkatan
Darat saat itu, Mayjen Soeharto kemudian
mengadakan penumpasan terhadap gerakan tersebut.
Isu Dewan
Jenderal
Pada saat-saat yang genting sekitar bulan September 1965 muncul
isu adanya Dewan Jenderal yang
mengungkapkan adanya beberapa petinggi Angkatan Darat yang tidak puas terhadap
Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya. Menanggapi isu ini, Soekarno
disebut-sebut memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan membawa
mereka untuk diadili oleh Soekarno. Namun yang tidak diduga-duga, dalam operasi
penangkapan jenderal-jenderal tersebut, terjadi tindakan beberapa oknum yang
termakan emosi dan membunuh Letjen Ahmad Yani, Panjaitan, dan Harjono.
Isu Dokumen Gilchrist
Dokumen Gilchrist yang diambil dari nama
duta besar Inggris untuk Indonesia Andrew
Gilchrist beredar hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan
Jenderal. Dokumen ini, yang oleh beberapa pihak disebut sebagai pemalsuan oleh
intelejen Ceko di bawah pengawasan Jenderal
Agayant dari KGB Rusia,
menyebutkan adanya "Teman Tentara Lokal Kita" yang mengesankan bahwa
perwira-perwira Angkatan Darat telah dibeli oleh pihak Barat[4]. Kedutaan Amerika Serikat juga
dituduh memberikan daftar nama-nama anggota PKI kepada tentara untuk
"ditindaklanjuti". Dinas intelejen Amerika Serikat mendapat data-data
tersebut dari berbagai sumber, salah satunya seperti yang ditulis John Hughes,
wartawan The Nation yang menulis buku "Indonesian Upheaval",
yang dijadikan basis skenario film "The Year of Living Dangerously",
ia sering menukar data-data apa yang ia kumpulkan untuk mendapatkan fasilitas
teleks untuk mengirimkan berita.
Isu Keterlibatan Soeharto
Hingga saat ini tidak ada bukti keterlibatan/peran aktif
Soeharto dalam aksi penculikan tersebut. Satu-satunya bukti yang bisa
dielaborasi adalah pertemuan Soeharto yang saat itu menjabat sebagai
Pangkostrad (pada zaman itu jabatan Panglima Komando Strategis Cadangan
Angkatan Darat tidak membawahi pasukan, berbeda dengan sekarang) dengan
Kolonel Abdul Latief di Rumah Sakit Angkatan Darat.
Meski demikian, Suharto merupakan pihak yang paling diuntungkan
dari peristiwa ini. Banyak penelitian ilmiah yang sudah dipublikasikan di
jurnal internasional mengungkap keterlibatan Suharto dan CIA. Beberapa
diantaranya adalah, Cornell Paper,
karya Benedict R.O'G. Anderson and Ruth T. McVey (Cornell University), Ralph
McGehee (The Indonesian Massacres and the CIA), Government Printing Office of
the US (Department of State, INR/IL Historical Files, Indonesia, 1963-1965.
Secret; Priority; Roger Channel; Special Handling), John Roosa (Pretext for
Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup d'État in
Indonesia), Prof. Dr. W.F. Wertheim (Serpihan Sejarah Th65 yang Terlupakan).
Korban
Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:
·
Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan
Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi)
·
Mayjen TNI Raden
Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)
·
Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III
Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan Pembinaan)
·
Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I
Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)
·
Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV
Menteri/Panglima AD bidang Logistik)
·
Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur
Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat)
Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi
sasaran utama, selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya,
putrinya Ade Irma Suryani
Nasution dan ajudan beliau, Lettu CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha
pembunuhan tersebut.
Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan
pada 3 Oktober.
Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:
·
Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal
kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J. Leimena)
·
Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas,
Yogyakarta)
·
Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas,
Yogyakarta)
Pasca kejadian
Pasca pembunuhan beberapa perwira TNI AD, PKI mampu menguasai dua sarana
komunikasi vital, yaitu studio RRI di Jalan Merdeka Barat dan
Kantor Telekomunikasi yang
terletak di Jalan Merdeka Selatan. Melalui RRI, PKI menyiarkan pengumuman tentang
Gerakan 30 September yang ditujukan kepada para perwira tinggi anggota “Dewan
Jenderal” yang akan mengadakan kudeta terhadap pemerintah. Diumumkan pula
terbentuknya “Dewan Revolusi” yang diketuai oleh Letkol Untung Sutopo.
Di Jawa Tengah dan DI. Yogyakarta, PKI melakukan pembunuhan terhadap
Kolonel Katamso (Komandan Korem 072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel Sugiyono
(Kepala Staf Korem 072/Yogyakarta). Mereka diculik PKI pada sore hari 1 Oktober
1965. Kedua perwira ini dibunuh karena secara tegas menolak berhubungan dengan
Dewan Revolusi. Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jendral
PKI Aidit menanggapi pembentukanDewan
Revolusioner oleh para "pemberontak" dengan berpindah
ke Pangkalan Angkatan
Udara Halim di Jakarta untuk mencari perlindungan.
Pada tanggal 6 Oktober Sukarno
mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan nasional", yaitu
persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian
kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota
dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi
Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak
ulang di koran CPA bernama "Tribune".
Pada tanggal 12 Oktober 1965,
pemimpin-pemimpin Uni-Soviet Brezhnev, Mikoyan danKosygin mengirim
pesan khusus untuk Sukarno: "Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk
mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik...Kita mendengar dengan penuh
minat tentang pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap
tenang dan menghindari kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti secara
mendalam."
Pada tanggal 16 Oktober 1965,
Sukarno melantik Mayjen Suharto menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat di Istana Negara. Berikut kutipan amanat presiden Sukarno kepada
Suharto pada saat Suharto disumpah[5]:
“
|
Saya perintahkan kepada Jenderal Mayor Soeharto, sekarang Angkatan Darat
pimpinannya saya berikan kepadamu, buatlah Angkatan Darat ini satu Angkatan
dari pada Republik Indonesia, Angkatan Bersenjata daripada Republik Indonesia
yang sama sekali menjalankan Panca Azimat Revolusi, yang sama sekali berdiri
di atas Trisakti, yang sama sekali berdiri di atas Nasakom, yang sama sekali
berdiri di atas prinsip Berdikari, yang sama sekali berdiri atas prinsip
Manipol-USDEK.
Manipol-USDEK telah ditentukan oleh lembaga kita yang tertinggi sebagai
haluan negara Republik Indonesia. Dan oleh karena Manipol-USDEK ini adalah
haluan daripada negara Republik Indonesia, maka dia harus dijunjung tinggi,
dijalankan, dipupuk oleh semua kita. Oleh Angkatan Darat, Angkatan Laut,
Angkatan Udara, Angkatan Kepolisian Negara. Hanya jikalau kita berdiri
benar-benar di atas Panca Azimat ini, kita semuanya, maka barulah revousi
kita bisa jaya.
Soeharto, sebagai panglima Angkatan Darat, dan sebagai Menteri dalam
kabinetku, saya perintahkan engkau, kerjakan apa yang kuperintahkan kepadamu
dengan sebaik-baiknya. Saya doakan Tuhan selalu beserta kita dan beserta
engkau!
|
”
|
Dalam sebuah Konferensi Tiga
Benua di Havana di bulan Februari 1966,
perwakilan Uni-Sovyet berusaha dengan segala kemampuan mereka untuk menghindari
pengutukan atas penangkapan dan pembunuhan orang-orang yang dituduh sebagai
PKI, yang sedang terjadi terhadap rakyat Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan
pujian dari rejim Suharto. Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi pada
tanggal 11 Februari, menyatakan
"penghargaan penuh" atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan dari
Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara lain di Konperensi Solidaritas
Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang berhasil menetralisir
usaha-usaha para kontra-revolusioner apa yang dinamakan pergerakan 30
September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk bercampur-tangan di
dalam urusan dalam negeri Indonesia."
Penangkapan
dan pembantaian
Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan
pendukung PKI, atau mereka yang dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI,
semua partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani
Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa
dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah (bulan
Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan
Desember). Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan persis -
perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara perkiraan lain
menyebut dua sampai tiga juta orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta
orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu.
Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari
organisasi-organisasi muslim sayap-kanan seperti
barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakukan pembunuhan-pembunuhan
massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di
dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu
sungai itu "terbendung mayat".
Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota
dan pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu
lainnya dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama
sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana CIA [1] menangkapi semua anggota dan
pendukung PKI yang terketahui dan melakukan pembantaian keji terhadap mereka,
majalah "Time" memberitakan:
"Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang
sedemikian sehingga pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi yang serius
di Sumatera Utara, di mana udara yang lembap membawa bau mayat membusuk.
Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai
kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi
terhambat secara serius."
Di pulau Bali,
yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000 orang menjadi
korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai Nasional Indonesia, adalah pelaku
pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus dariFrankfurter Allgemeine
Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau dibuang ke
dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana para
petani tidak berani meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah
hangus.
Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh
teman-teman mereka untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar
pemburuan-pemburuan rasialis "anti-Tionghoa" terjadi. Pekerja-pekerja
dan pegawai-pegawai pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai protes atas
kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini dipecat.
Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di
kamp-kamp konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan
sebagai tahanan politik pada akhir 1969. Eksekusi-eksekusi
masih dilakukan sampai sekarang, termasuk belasan orang sejak tahun 1980-an.
Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus
Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25
tahun sejak kudeta itu.
Supersemar
Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi
Suharto kekuasaan tak terbatas melalui Surat Perintah Sebelas Maret. Ia
memerintah Suharto untuk mengambil "langkah-langkah yang sesuai"
untuk mengembalikan ketenangan dan untuk melindungi keamanan pribadi dan
wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini pertama kali digunakan oleh Suharto untuk
melarang PKI. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Sukarno dipertahankan
sebagai presiden tituler diktatur militer itu sampai
Maret 1967.
Kepemimpinan PKI terus mengimbau massa agar menuruti kewenangan
rejim Sukarno-Suharto. Aidit, yang telah melarikan diri, ditangkap dan dibunuh
oleh TNI pada
tanggal 24 November, tetapi pekerjaannya diteruskan oleh Sekretaris
Kedua PKI Nyoto.
Pertemuan Jenewa, Swiss
Menyusul peralihan tampuk kekuasaan ke tangan Suharto,
diselenggarakan pertemuan antara para ekonom orde baru dengan para CEO
korporasi multinasional di Swiss, pada bulan Nopember 1967. Korporasi
multinasional diantaranya diwakili perusahaan-perusahaan minyak dan bank,
General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American
Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper
Corporation, US Steel, ICI, Leman Brothers, Asian Development Bank, dan Chase
Manhattan. Tim Ekonomi Indonesia menawarkan: tenaga buruh yang banyak dan
murah, cadangan dan sumber daya alam yang melimpah, dan pasar yang besar.
Hal ini didokumentasikan oleh Jhon Pilger dalam film The New
Rulers of World (tersedia di situs video google) yang menggambarkan bagaimana
kekayaan alam Indonesia dibagi-bagi bagaikan rampasan perang oleh perusahaan
asing pasca jatuhnya Soekarno. Freeport mendapat emas di Papua Barat, Caltex
mendapatkan ladang minyak di Riau, Mobil Oil mendapatkan ladang gas di Natuna,
perusahaan lain mendapat hutan tropis. Kebijakan ekonomi pro liberal sejak saat
itu diterapkan.
Peringatan
Sesudah kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari
Peringatan Gerakan 30 September (G-30-S/PKI). Hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian
Pancasila. Pada masa pemerintahan Soeharto, biasanya sebuah film mengenai
kejadian tersebut juga ditayangkan di seluruh stasiun televisi
di Indonesia setiap tahun pada tanggal 30
September. Selain itu pada masa Soeharto biasanya dilakukan upacara bendera diMonumen Pancasila
Sakti di Lubang Buaya dan dilanjutkan dengan tabur bunga di
makam para pahlawan revolusi di TMP Kalibata. Namun sejak era Reformasi bergulir, film itu sudah tidak
ditayangkan lagi dan hanya tradisi tabur bunga yang dilanjutkan.
Pada 29 September - 4 Oktober 2006,
para eks pendukung PKI mengadakan rangkaian acara peringatan untuk mengenang
peristiwa pembunuhan terhadap ratusan ribu hingga jutaan jiwa di berbagai
pelosok Indonesia. Acara yang bertajuk "Pekan Seni Budaya dalam rangka
memperingati 40 tahun tragedi kemanusiaan 1965" ini berlangsung di
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok.
Selain civitas academica Universitas Indonesia, acara itu juga
dihadiri para korban tragedi kemanusiaan 1965, antara lain Setiadi, Murad
Aidit, Haryo Sasongko, dan Putmainah.
Sumber http://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_30_September
Tidak ada komentar:
Posting Komentar